Sore itu hujan turun deras, tapi Nindi baru saja sampai di rumah. Dia baru pulang dari tempat kerjanya di salah satu Departement Store ibukota. Maklum, dia harus mencari tambahan dana untuk kuliahnya, karena itu dia harus rela menjadi SPG( Sales Promotion Girl ) pada waktu luangnya. Berlatarbelakang keluarga yang kacau membuatnya sedikit awuran. Keduaorangtuanya tak lagi tinggal bersama, ibunya sakit lemah jantung yang sulit disembuhkan dan juga Nindi mempunyai dua orang adik yang masih sekolah. Hal itu membuat Nindi tak karuan dan tak betah dirumah. Tapi meskipun awuran, Nindi masih mau bekerja untuk dirinya dan keluarganya.
“ Baru pulang toh ndo’.” Sapa ibunya dari arah kamar.
“ Iya bu, ugh capek nih.” Jawab Nindi sambil menghenyakkan badan di kursi meja makan. Lalu ibunya keluar dari kamarnya dan segera mengambilkan makanan untuk anak sulungnya ini. Dan ikut bergabung duduk di meja makan.
“ Ndo’, kamu ibu lihat sudah ga pernah ikut ngumpul-ngumpul dimesjid lagi, itu bareng sama si Ariani itu loh. Dia kan anak baik bisa bawa pengaruh baik buat kamu. Apalagi sekarang kamu kerja jadi……” Belum selesai ibunya bicara, Nindi sudah memotong.
“ Jadi SPG?? Emang kenapa toh bu, yang pentingkan halal.” Jawab Nindi “ Lagian juga Ariani tuh sekarang udah berubah, bu. Nda kaya dulu lagi. Sekarang mana mau dia main sama Nindi. Kerudungnya aja udah kaya taplak meja ,bu.” Sambung Nindi
“ Hush jangan ngomong kaya gitu kamu, ndo’. Dunia itu memang penting tapi akhirat itu lebih penting dari apapun. Besok minggu toh? kamu dirumah toh? Besok ibu suru mba’ dini ngajak kamu ke mesjid buat ngaji. Udah lama ibu ga denger kamu ngaji.” Kata ibunya panjang lebar.
“ Hah ibuuuu.” Jawab Nindi merajuk. Ibu Nindi memang benar sesibuk apapun Nindi bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dia juga tidak boleh lupa dengan urusan agama. Karena apapun juga pasti berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah.
***
Keesokan harinya Nindi bangun pagi-pagi seperti hari libur biasanya. Dia jadi malas menjalani hari ini kalau mengingat ibunya menyuruhnya pergi ke mesjid untuk mengaji.
Dulu semasa SMA, Nindi memang rajin ke masjid dekat rumahnya untuk mengikuti pengajian-pengajian. Dia juga punya kelompok mentoring yang anggotanya Mba Dini, Ariani, Keke dan Mba Yuni. Tapi selepas SMA, Nindi begitu sibuk dengan kuliahnya dan pekerjannya, apalagi lingkungan pekerjaan Nindi kurang mendukung dalam hal agama. Dan juga, teman-teman sementoringnya Nindi sekarang semua berkerudung dan kerudungnya itu panjang-panjang. Berbeda sekali Nindi, apalagi saat Nindi bekerja dia diharuskan mengenakan rok mini dan baju yang pas badan. Jadi, Nindi agak segan kalau disuruh bergabung lagi dengan teman-teman mentoringnya.
Selesai mandi pagi, Nindi mendengar ada yang mengetuk pintu rumahnya.
“ Assalamu’alaikum ” Kata suara dari luar rumah.
“ Wa’alaikumsalam ” Jawab Nindi dari dalam sambil bergegas membuka pintu rumahnya. Dan saat pintu terbuka Mba’ Dini sudah berdiri didepan pintu dengan berpakaian rapi siap pergi ke mesjid. Mba’ Dini ini adalah sepupu Nindi. Jadi, dalam kelompok mentoringnya itu Nindi paling dekat dengan Mba’ Dini, Nindi juga sering curhat tentang yang terjadi dalam dirinya dan keluarganya pada Mba’ Dini. Mba’ Dini juga dewasa dalam menjawab persoalan-persoalan yang dialami Nindi.
“ Eh Nin. Yuk ke mesjid! Kok kamu belum siap-siap.” Ajak Mba’ Dini.
“ Mba’ kata siapa aku mau kemesjid ?” Tanya Nindi pura-pura tidak tahu.
“ Tadi bu lik nelpon, katanya kalo Mba’ mau kesejid jangan lupa ngajak kamu.” Jelas Mba’ Dini. “ Yuk jalan ntar kita telat.”
“ Aduh mba’ tapi.. aku malu mba’, aku ga ada kerudung gede-gede yang kaya mba’ pake ini loh. Ga enak aku sama yang lain. Wis yo mba’ aku ga usah dateng.” Kata Nindi memelas.
Mba’ Dini tersenyum kecil. “ Aduh de’, sapa sih yang nyuruh kamu pake kerudung panjang kaya gini. Kalau mau dateng ke mesjid itu yang penting pakaiannya menutup aurat, kan harus proses dulu, Mba’ ga langsung nyuruh kamu pake kerudung gede.” Jelas Mba’ Dini masih sambil tersenyum. “ Kamu masih punya toh kerudung jaman SMA-mu. Pake aja itu, yah.”
“ Iya mba’. Tungguin ya mba’, bentar.” Kata Nindi sambil berlari ke kamar untuk ganti baju. Beberapa menit kemudian Nindi keluar dari kama dengan mengenakan baju muslim dan kerudung, dia tampak lebih anggun daripada biasanya. Mungkin efek dari kerudung yang dia kenakan yang membuatnya tampak lebih anggun.
Keduanyapun berangkat menuju masjid yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari jalan rumah mereka. Saat diperjalanan hati Nindi tak karuan. Dia takut tak diterima lagi dalam pengajian di masjid. Berbagai pikiran negatif merasuk dalam pikirannya, takut dihina atas pekerjannanya, inilah, itulah. Sampai-sampai saat hampir masuk masjid Nindi ingin pulang, untung ada Mba’ Dini, dia mencoba menenangkan Nindi sampai akhirnya Nindi bersedia untuk masuk ke masjid.
Saat masuk kedalam masjid yang lumayan besar dan megah ini, Nindi merasakan ketenangan dan kesejukan yang sudah jarang dia rasakan, dan diapun mencoba mengingat kapan terakhir kali dia masuk ke masjid, masjid yang sudah dijajakinya sejak kecil ini memang memiliki kesan tersendiri bagi Nindi. Nindi jadi ingat pertama kali ibunya mengajaknya ke masjid saat dia masih berumur 5 tahun. Nindi juga tidak mau masuk kedalam masjid karena takut dengan guru-guru ngaji didalam dan sang ibupun menenangkannya sehingga setelah masuk kedalam Nindi merasa nyaman dan belajar mengaji dengan baik. Dan sekarang Nindi merasakan hal itu terulang lagi, seakan-akan ini pertama kalinya dia masuk ke mesjid ini. Tapi, Nindi berusaha menyembunyikan apa yang dia rasakan, Nindi masih berpura-pura malas.
Di dalam masjid tempat bagian akhwat sudah menanti Ariana dan Keke, namun sosok Mba’ Yuni justru tak kelihatan dan digantikan oleh sosok lain yang tidak asing bagi Nindi yaitu Difa teman satu jurusannya di kampus yang terkenal sebagai aktivis Rohis kampus. Difa terkenal juga dengan julukan Ninja Chan karena kerudungnya yang lebar. Nindi sedikit kurang suka dengan Difa, karena Difa terkesan “akhwat banget” dan alergi sama cewek biasa. Eitss, itu cuma lahir dari pikiran Nindi yang sama sekali tidak dekat dengan Difa dan disinilah Nindi mulai mengenal siapa Difa.
“ Eh itu Mba’ Dini udah dateng. Eh tapi Mba’ Dini sama siapa tuh? Ya Allah itu kan Nindi.” Teriak Ariana kaget saat melihat dengan siapa Mba’ Dini datang. Arianapun langsung berdiri menyambut Nindi dengan senyuman yang lebar.
“ Nin, ya ampun udah lama ga ketemu ya.” Sambung Keke sambil menyalami Nindi.“ Nin, kenalin ini Difa, ibunya yang mau ngisi pengajian hari ini.”
“ Nindi kan? Aku kenal kok, kita satu jurusan kan?” Sapa Difa dengan suara lembutnya yang tidak dibuat-buat.
“ Eh iya, he-eh kita satu jurusan.” Jawab Nindi kikuk
“ Yaudah yuk kita ngobrol-ngobrol dulu sini, pengajiannya masih mulai 5 menit lagi.” Ajak Ariana. Sementara yang lainnya asyik mengobrol Nindi merasa ingin ke kamar mandi. Dan diapun minta izin dengan teman-temannya untuk ke kamar mandi, Nindi tidak perlu ditunjukan kemana arah kamar mandi, karena dia sudah mengenal jelas masjid ini, terakhir yang dia dengar teman-temannya sedang menanyakan kemana perginya Mba’ Yuni sehingga tidak bisa datang hari ini.
Selesai dari kamar mandi Nindi kembali ke ruang bagian akhwat, saat sudah hampir dekat dengan tempat teman-temannya tadi berkumpul, tiba-tiba Nindi mendengar Difa mengatakan sesuatu kepada yang lainnya.
“ Seorang wanita yang mulia adalah seorang wanita yang bias menjaga auratnya, bukanny malah jadi sarana untuk jualan” Dzziiinnkkk, kata-kata yang keluar dari mulut Difa bagai hujan silet yang menusuk hati Nindi, mengingat Nindi bekerja sebagai SPG. Nindi pikir Difa pasti sedang mencemoohnya, pas seperti apa yang dia takutkan dari tadi. Mata Nindi mulai berkaca ketika Difa penyelesaikan kalimatnya itu. Emosi Nindi memuncak, dari belakang Nindi langsung berkata.
“ Eh Difa, denger ya, lu ga punya hak buat, menghakimi orang dari luarnya. Emangnya lu pikir lu itu siapa? Jilbab aja yang lebar tapi hati lu sempit.Gue tau yang lo maksud tadi, lu nyindir gue kan?. Kalo lu punya latar belakang kehidupan kaya’ gue, mungkin juga lu bakal ngelakuin hal yang sama kaya’ gue. Bahkan mungkin lebih hina lagi.” Sembur Nindi tanpa henti. Sehingga ada beberapa akhwat lain yang menengok untuk melihat apa yang terjadi.
“ Astaghfirullah, Nindi. Aku sama sekali ga bermaksud kaya gitu. Aku sama yang lain cuma lagi diskusi tentang isi artikel di majalah ini.” Jawab Difa masih dengan suara lembutnya. Difa juga hampir mengeluarkan air mata seperti Nindi yang sekarang justru sudah menangis. Nindi malu karena dia sudah salah sangka. Diapun berlari meninggalkan masjid. Mba’ Dini mencoba mengejarnya, namun Nindi tak terkejar lagi. Diapun pulang sambil sesenggukan. Hati Nindi sangat pilu. Pertama, karena dia mendengar perkataan yang dia pikir untuk mencemoohnya, kedua, ternyata dia hanya salah sangaka. Berbagai perasaan menyusup ke dalam hatinya. Dia kesal, benci pada dirinya yang sekarang ini.
***
Siang itu Nindi akan berangkat ke tempat kerjanya setelah jam kuliah selesai. Sebelum pergi dia menyempatkan diri sholat Zhuhur di masjid kampus. Sejak kejadian memalukan itu Nindi jadi sering sholat ke masjid dikampusnya ini. Selesai sholat tiba-tiba ada yang menghampirinya. Difa. Dia mendatangi Nindi dimasjid siang itu. Difa mencoba meluruskan apa yang terjadi dimasjid hari minggu kemarin. Difa menjelaskan semuanya. Saat Difa selesai menerangkan semuanya Nindi menangis. Nindi menumpahkan segala masalahnya pada Difa yang ternyata sangat lembut, tidak seperti yang dia kira selama ini, akhwat yang alergi cewek biasa.
“ Nin, bukannya aku bermaksud menggurui kamu. Tapi hidup itu memang penuh cobaan yang menjadikan kita makin dekat sama Allah, bukannya justru makin jauh. Kamupun begitu, jalani cobaan yang lagi Allah kasih sama kamu sekarang ini dengan lapang dada. Yakinlah bahwa Allah meberikan cobaan sesuai dengan kemampuan hamba-Nya.” Jelas Difa panjang lebar masih dengan suara lembut khas Difa. Nindi masih menangis dan diapun mencoba menguatkan diri untuk berbicara lagi.
“ Tapi Dif, sejak kamu ngomong kaya gitu, kata-kata kamu selalu terngiang. Kayanya pilihanku kerja sambilan jadi SPG emang salah deh. Tapi aku ga tau mesti gimana lagi.” Kata Nindi masih sesenggukan.
“ hmm. Gini Nin, pekerjaan itu banyak macemnya. Apalagi kalau cuma pekerjaan sambilan. Banyak pekerjaan yang masih memungkinkan kamu untuk menutup aurat kamu. Dan maaf banget, ga kaya SPG. Perempuan itu dituntut untuk menutup auratnya. Dan kita tahu aurat perempuan itu mencakup ujung rambut sampai ujung kaki. Wajib hukumnya, Nin.” Jelas Difa. “ kalo aku saranin mending kamu berhenti jadi SPG. Kurang syar’i aja diliatnya perempuan berjualan kaya gitu.” Nindi hanya diam saja mendengar Difa berkata seperti itu.“ Kalo kamu mau kamu bisa jadi guru ngaji dimesjid deket rumah kamu itu. Insya Allah bisa buat tambahan dana kamu. Gimana? Kamu mau?”
“ Beneran Dif? Tapi harus pake kerudung ya? Aku belum siap Dif?” Kata Nindi.
“ Ga papa. Semuanya butuh proses Nin, kalo kamu udah niat mau memakai pakaian takwa, Insya Allah udah dihitung satu kebaikan sama Allah.” Terang Difa.
Sejak saat itu Nindi sering menumpahkan isi hatinya pada Difa. Pelan-pelan Difa memperkenalkan Nindi pada pesona Allah, pada kasih sayang-Nya, pada kepedulian-Nya dan pada cinta-Nya. Nindi kini tidak lagi menjadi SPG, dia beralih profesi menjadi guru ngaji di TPA dekat rumahnya. Walaupun belum berkerudung tapi Nindi berniat untuk memakai “pakaian takwa“ yang diberikan Nindi padanya . Baginya kini, menuju jalan Allah adalah yng paling baik. Dan dia merasakan cinta Allah yng dikirim melalui Difa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar